Cerita ini cuma copas >> copy paste
Tapi isinya menurutQ siip bangedzzz..
pengennya semua suami baca.. hehehe
Alhamdulillahnya, suami ane meskipun kagak baca ini,,beliau selalu bantuin klo m2 masak, nyuci baju + piring, mo2ng si kecil....ulala sesuatu terpampang nyataaaaa,,
CEKIDOT >>>>>>
Kalau diibaratkan hidup berumah tangga seperti mengendarai bus, peran
ganda memang tidak bisa dipungkiri. Adakalanya kondektur merangkap jadi
sopir. Dan adakalanya pula, sopir berperan ganda sebagai kondektur.
Hidup berpasangan memang penuh warna-warni. Terlebih ketika sebuah
pasangan telah teranugerahi buah hati. Pelangi hidup jadi kian semarak.
Dan tiap warna memberikan kenangan tersendiri yang sulit terlupakan.
Di antara warna itu adalah ketika seorang suami ingin merasakan
repotnya jadi seorang isteri. Ini otomatis menyangkut beban isteri pada
anak-anaknya. Apa saja. Mulai masak, mengurus anak, menata perabot
rumah, mencuci dan menyetrika pakaian, serta menampung keluhan
anak-anak.
Mungkinkah? Jawaban sebenarnya bukan sekadar mungkin, tapi harus.
Karena semua tugas itu memang terpikul di pundak suami. Suamilah yang
paling bertanggung jawab atas semua beban hidup keluarga. Semantara
isteri hanya sebagai kepanjangan tangan suami.
Buat suami yang mampu, mereka menyediakan para pembantu buat
tugas-tugas rumah seperti itu. Ada juru masak, tukang cuci, perawat
anak, dan tukang kebun. Tapi, buat yang kantongnya pas-pasan, masih ada
cara lain. Mau tidak mau, suami mesti terjun mengurus seisi rumah.
Setidaknya, itulah yang kini dialami Pak Hasan.
Bapak lima anak ini sadar betul kalau tugas isteri itu sangat berat.
Belum lagi kesibukan sosial di masyarakat. Dan kesibukan luar itu bisa
datang dari dua arah: sebagai pelaku dan sebagai peserta. Kalau dua
sebagai itu tergabung, kesibukan luar bisa berlipat-lipat.
Buat Pak Hasan, seorang isteri adalah aset keluarga yang sangat
mahal. Itulah kenapa ia bukan sekadar mengikhlaskan isterinya aktif di
masyarakat, bahkan memberikan semangat ketika hasrat aktif itu mulai
redup. Kalau sudah begitu, Pak Hasan mesti siap dengan urusan rumah.
“Ah, cuma masak ama nyuci ini lah. Gampang!” tekad Pak Hasan sambil
menatap sang isteri pergi.
Mulailah ia repot-repot memasak mie instan. Mie siap, telor ada, air
dalam panci mulai tampak mendidih. Tapi…. Sesekali Pak Hasan menoleh ke
arah anak-anak yang tak sabar menanti. Ada yang mulai menangis, ada yang
teriak-teriak, ada juga yang sibuk berebut piring dan sendok. “Sabar,
Nak!” suara Pak Hasan menambah riuh suasana.
Sejenak, ia seperti teringat sesuatu. Tatapannya tiba-tiba begitu
tajam ke arah dua benda di hadapannya: mie dan telor. “Eh iya. Mana yang
lebih dulu masuk, ya. Mie apa telor? Lha, saya kok jadi bingung,” suara
spontan Pak Hasan tiba-tiba. Sementara, suara tangis dan teriakan
anak-anaknya kian nyaring. Di luar dugaan, luapan air mendidih lebih
dulu mematikan kompor sebelum Pak Hasan mengambil keputusan: antara mie
dan telor.
Pernah juga Pak Hasan berepot-repot memandikan tiga anaknya yang
masih balita. Sementara dua anaknya yang di SD sudah berangkat ke
sekolah. Satu anaknya yang akan mandi tampak menangis, “Nggak mau ayah.
Dingin. Ani nggak mau mandi!” Sedang di kamar mandi sudah tampak dua
anaknya yang lain sedang guyur-guyuran dengan baju masih melekat di
badan. “Hati-hati, Nak. Nanti masuk kuping!” teriak Pak Hasan sambil
menggiring satu anaknya yang masih menangis ke kamar mandi.
Sesaat Pak Hasan terdiam. Ia seperti mengingat sesuatu, “Ah iya,
sabun mandinya habis.” Pak Hasan tampak bingung. Nggak mungkin
memandikan anak dengan bersih kalau nggak dengan sabun. Tapi, siapa yang
mau pergi ke warung. Tak ada orang lain kecuali dia dan tiga anaknya
yang sedang mandi. Kalau ditinggal pergi, ia khawatir anak-anaknya
terjatuh. Duh, gimana dong? Pak Hasan tambah bingung.
Sejenak, matanya menangkap sesuatu di bak pencuci piring. Ah, itu
dia. Pak Hasan bergegas mengambil sabun colek yang biasa digunakan
isterinya buat cuci piring. “Yah, masih sama-sama sabun,” ucapnya sambil
menghampiri anak-anaknya yang mulai kedinginan. Satu per satu,
anak-anak diolesi sabun, dibilas untuk kemudian digosok dengan handuk.
Mandi pun selesai.
Mulailah Pak Hasan menyiapkan baju salin anak-anak. Ia teliti satu
per satu baju yang ada. Mulai dari kecocokan dengan cuaca yang musim
hujan, warna, dan keserasian atasan dan bawahan. Saat itulah ia kembali
dihibur dengan suara merdu tangis anak-anaknya. Kali ini, bukan cuma
satu. Tapi ketiga-tiganya. “Aduh, gatal ayah! Badan adek gatal nih!”
Mendengar itu, spontan Pak Hasan menghampiri anak-anaknya. Ketiganya
tampak sibuk menggaruk-garuk tangan, badan, dan kaki. “Kamu kenapa,
Nak?” suara Pak Hasan agak panik. Tak ada jawaban kecuali tangis yang
kian menderu. “Lha, kenapa ya? Jangan-jangan…sabun colek itu. Ya Allah!”
Pak Hasan menatap tiga anaknya yang sedang tidur siang. Sesekali, ia
kembali mengolesi obat gatal di kaki sang anak yang hilang karena
tergaruk. “Kasihan anak-anakku!” suara batin Pak Hasan sesaat setelah ia
beranjak ke ruang tengah.
Dari ruang itulah ia bisa melihat hampir separuh isi rumahnya. Tampak
ruang tamu yang acak-acakan. Dua kursi terbalik, dan taplak meja
terlihat menjuntai di atas lemari pajangan. Belum lagi pemandangan
lantai yang begitu semarak dengan mie instan mentah yang berserakan.
Ia pun menoleh ke ruang dapur. Tampak di sana piring-piring kotor
saling bertumpukan. Dua gelas plastik tergeletak di lantai dengan
genangan larutan warna coklat. Tak jauh dari situ, baju dan celana dalam
anak-anak berserakan.
Saat itu, Pak Hasan teringat sesuatu. Ia kian sadar betapa tugas
seorang isteri tidak mudah. Berat! Ah, ternyata lebih mudah jadi sopir
daripada berperan sebagai kondektur. (muhammadnuh@eramuslim.com)